Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Teruntuk Rekan-Rekanita. Pemilih ABABIL. . . . !!?

Ketika Bung Karno ditangkap dan dipenjara pada tahun 1929, seiring itulah Partai Nasional Indonesia surut. Kemudian Bung Hatta dan Sultan Syahrir yang melanjutkan serta meneruskan pergerakan dengan Pendidikan Nasional Indonesia. Sama-sama PNI, namun berbeda kepanjangan. Satunya Partai Nasional Indonesia yang lain Pendidikan Nasional Indonesia.

Yang satu partai massa, yang satunya adalah pergerakan kader. Hal itu dipengaruhi oleh perbedaan aksentuasi pandangan kedua proklamator tersebut. Bung Karno lebih percaya menggerakkan masa lewat organisasi politik. Sesuai dengan beliau, pilihannya sedikit banyak pribadinya sebagai orator ulung.

Sedangkan Bung Hatta cenderung memilih organisasi kader seperti yang dilakukan Belanda. Dengan organisasi Perhimpunan Indonesia. Dimana beliau lebih pandai menguraikan kata melalui tulisan daripada beretorika lewat podium yang berapi-api.  

Ada yang menarik untuk diamati dari perbedaan keduanya. Sekalipun berbeda dalam pendekatan antara Bung Karno dan Bung Hatta, itu hanya masalah furu’iyah  saja. Bukan hal yang mustahil. Keduanya menentang anggapan dalam pergerakan nasional bahwa rakyat Indonesia belum siap untuk merdeka. Sepakat dan berpendirian teguh, rakyat Indonesia memang benar-benar siap untuk merdeka.

Dalam kaitan yang berbeda, perbedaan itu muncul lagi, menjadi pertanyaan besar yang sangat urgent. Bukan lagi soal apakah rakyat sudah siap merdeka atau belum melainkan, apakah rakyat sudah siap dalam mempunyai rasa tanggung jawab terhadap pilihannya, mempunyai kesadaran serta tanggung jawab sosial politik untuk mengembangkan Demokrasi Pancasila?

Ada formulasi.

Untuk menjawab itu, sudah lazim bahwa masyarakat Indonesia sudah 3,5 abad hidup dalam penjajahan. Jiwa-jiwa seperjuangan senasib sudah tertanam lekat. Disisi lain rakyat juga mempunyai aspirasi kemanusiaan dalam perikehidupan bersama.

Aspirasi dan hasrat dalam kehidupan akan keadilan, martabat, tanggung jawab, menjadi naluri. Perumusan lebih lengkap dan juga bentuk struktur secara terus menerus terpola dikembangkan melalui pendidikan, termasuk pendidikan politik dan praksis kehidupan politik yang sehat.    

Kita sudah beberapa kali (bagi yang berkepala 2) mengikuti kontestasi pemiliahan umum (PEMILU) maupun pemilihan legislative ataupun pemilihan kepala daerah. Pesta demokrasi menjadi ajang untuk belajar pendidikan politik. Bagi yang benar-benar mengerti akan esensi politik.

Dari tahun ke tahun pemilih pemula cukup lumayan banyak. Tanpa adanya edukasi politik, akan sangat riskan. Menjadi generasi yang mudah diadu domba. Dengan embel-embel partai atau golongan yang berbeda. Mudah tersulut api. Tersusupi.

Hanya mengejar instan. Namun disisi lain pemilih pemula yang didominasi remaja, kisaran usia pelajar Sekolah Menengah Atas/sededarajat masih idealis serta mencari sosok yang bisa membawa perubahan drastis. Nyata geraknya. 

 Sayang, bila pesta demokrasi ini di tunggangi, bahkan adanya money politic. Semoga angkanya tak banyak. Terlebih lilitan ekonomi sebagai faktor pendukung.

Sayangnya lagi, yang mereka lihat adalah visi misi yang  ketok wah. Tanpa melihat realisasi apakah memang benar dieksekusi.

Lagi-lagi sayang, ke-labilan pemilih pemula bila sudah termindeset “peh jan modis, cocok!”

Pemilih ini terkadang ada juga yang hanya ikut-ikutan teman ngopi. Hasil dari kongkow malam hari. Tercetuslah bahwa benar inilah pemimpin masa depan (semoga saja begitu).

Edukasi pemilh pemula sebenarnya sangatlah penting. Disini yang malah diabaikan. Bukan menyalahkan pihak penyelenggra. Namun ini adalah pekerjaan bersama. Seluruh komponen bangsa. Terutama disekolah.

Hal kreatif yang pas di musim pandemi. Ini menjadi momen untuk sosialisasi. Apalagi sudah marak webinar. Katakanlah diselenggarakan daring diskusi publik. Hanya bermodalkan sambungan wireelese dan pemateri. Bila memang tak sempat, adalagi sebenarnya sing penak-penakan.

Jika memang tidak ada waktu, sibuk dengan pencocokan data pemilih lan thetek mbengek e.  Buatlah desain istagramable. Disitu buat caption menarik. Kemudian tinggal klik and share. 

Penulis sangat mengapresiasi dibuatkannya akun sosial media. Juga icon yang menarik mulai dari si Durio sampai coklit. Kalau website (itu wajib) sudah menjadi ihwal media publikasi.

Tanpa adanya publikasi, mustahil pemilih atau warga sipil dapat mengetahui. Kita sudah bosan dengan adanya baliho terpampang gamblang. Apalagi pasangan calon yang memoles sedemikian rupa bak super hero yang akan membawa perunahan. Seakan akan bibirnya berujar “aku ki lo pilihen wong, insyaallah amanah”. Semoga tidak “aman, ah . . . ”

Pemilih sebagai obyek harus benar-benar mengetahui visi misi pasangan calon, selain kepribadian yang melekat dalam diri. Lantas bagaimana jika pemilih saja tidak mengenal sosok yang akan memimpinnya?

Hanya mengekor.

Mungkin itu gambaran bagi pemilih awam, gagap teknologi dan informasi. Ditunjang dengan kefanatikan sebuah orsospol (organisasi sosial politik ) menambah ke-kekeh-an pemilih.

Mencetak kader-kader unggulan yang melek politik, bukan antipatik. Bukan lagi soal lobi-lobi intrik-intrik.  


Madchan Jazuli
Madchan Jazuli Kawulo alit. Sntrjjr. GLK-MLG

Posting Komentar untuk "Teruntuk Rekan-Rekanita. Pemilih ABABIL. . . . !!?"