Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pondok Tengah, Pesantren Salaf Sarat Inovasi

Madrasah Jadid Pondok Tengah Kamulan Durenan
Meski banyak pesantren memasukkan pendidikan formal, pesantren ini tidak bergeming dan dengan penuh percaya diri tetap mempertahankan model salaf. Kendati demikian, ada sejumlah terobosan yang dilakukan. Seperti apa?

Untuk kawasan Trenggalek, pesantren ini adalah yang tertua, yakni berdiri sejak tahun 1790 masehi. Terletak di Desa Kamulan Kecamatan Durenan Kabupaten Trenggalek. Meski nama resminya Pondok Pesantren Hidayatut Thullab, namun orang jarang mengenal nama itu. Masyarakat lebih akrab dengan sebutan Pondok Tengah, Pondok Kamulan atau Pondok Durenan. Disebut Pondok Tengah karena di Desa Kamulan ada lima pondok pesantren, sedangkan pesantren ini berada di tengah. Disebut Pondok Kamulan dan Durenan karena mengikuti nama desa dan kecamatan tempat pesantren berada.

Pesantren yang bangunannya cukup megah itu berdiri sejak kerajaan Majapahit. Konon, di tengah hutan belantara, tepatnya di bekas lokasi Kerajaan Sendang Kamulan yang sudah runtuh, tinggallah Kiai Yunus. Beliau berasal dari keluarga kerajaan Mataram yang melarikan diri karena kurang setuju dengan kebijakan kerajaan menjalin hubungan dengan Belanda. Kiai Yunus yang merupakan cucu dari Kerajaan Mataram mendirikan tempat tinggal  sangat sederhana dengan atap ilalang. Di tempat itulah ia menjadikan pusat penyebaran ajaran Islam.

Hadirnya Kiai Yunus membawa perubahan bagi kawasan ini. Lambat laun hutan belantara menjadi pemukiman penduduk dan diberi nama desa Kamulan. Banyak kisah tentang kehidupan Kiai Yunus di tengah hutan. Konon, putra Mbah Bagus Mukmin itu kerap kali menjadikan binatang buas sebagai teman.

Sepeninggal Kiai Yunus, penyebaran Islam tidak berhenti. Masih ada penerus yang sudah dipersiapkan yakni Kiai Ali Murtadlo. Di masa kepemimpinannya, Mbah Dho Ali (sapaan Kiai Ali Murtadho) itulah sempat dilakukan renovasi masjid, yang hingga kini masih utuh sesuai bentuk aslinya.

Setelah Kiai Ali Murtadlo wafat, kepemimpinan pesantren dilanjutkan KH Ihsan. Antara tahun 1948-1949, pesantren ini pernah dijadikan markas sementara tentara Hizbullah. Risikonya juga jelas, pesantren menjadi sasaran serangan tentara Sekutu, tepatnya pada tanggal 10 Nopember 1948.

Kemudian kepemimpinan pesantren dilanjutkan oleh KH M Mahmud Ihsan dengan dibantu adik iparnya, Kiai Nafi’i yang popular dengan sebutan Kiai Jumadi. Dimasa kepemimpinan Kiai Mahmud, pesantren pernah dijadikan pusat pembinaan dan penggemblengan pemuda Ansor untuk ikut serta menumpas pembrontakan G 30 S/ PKI.

Pada tahun 1996, Kiai Mahmud wafat dan regenerasi kepemimpinan pesatren pun kini memasuki generasi kelima. Sampai saat ini Pondok Tengah atau Pondok Kamulan diasuh KH Thoha Munawar, KH Mahmud Ihsan dan KH Baha’udin.

Ketika NU Online berkunjung ke pesantren ini, Gus Baha’ – sapaan akrab KH Baha’udin --- tengah asyik berbincang dengan tiga santri senior. Dalam perbincangan itu, kiai yang gemar mengenakan kopiah hitam dan baju putih itu membahas masa depan pesantren yang diasuhnya. Pembicaraan tidak terlihat tegang, namun gayeng.

Gus Baha’ menuturkan jika Pondok Tengah yang diasuhnya tidak seperti pesantren lain khususnya di Jawa Timur. Setiap pagi tidak terdengar suara santri mengaji. “Kegiatan di pondok ini dimulai menjelang sore hari sampai tengah malam,” terangnya. “Tepatnya mulai jam dua siang sampai jam sebelas malam,” lanjut Gus Baha’.

Ia menuturkan bahwa saat pagi hari hampir seluruh santrinya bekerja. Ada yang membuat genteng,  dan ada juga yang membuat batu bata. Ada yang ikut orang, ada yang kerja sendiri dengan menyewa tanah warga setempat. Baru setelah siang hari mereka mengaji di pondok. “Pendidikan di pesantren ini mengajarkan kemandirian dan berwirausaha kepada para santri,” ungkap ayah dari tiga putra itu.

Pendidikan yang mengajarkan kewirausahaan itu, menurut Gus Baha’, menjadikan santri tidak bingung harus bekerja apa setelah lulus. Meski kebanyakan santri yang bekerja berasal dari keluarga kurang mampu, namun ada sebagian diantara mereka yang tidak pernah meminta kiriman uang dari orang tua. Malah santri itulah yang mengirimkan sebagian dari hasil usahanya kepada orang tuanya. Inilah pendidikan yang ditanamkan kepada para santri Pondok Tengah.

Kini santri yang tinggal di Pondok Tengah sebanyak 450 orang putra dan putri. Adapun pendidikan yang telah disediakan antara lain, PAUD, raudlatul athfal, TPQ an-Nahdliyah al-Ihsaniyah dan madrasah diniyah serta ibtidaiyah, tsanawiyah dan aliyah.

Tetap Percaya Diri

Meski banyak pesantren yang mengeluh tidak bisa berkembang karena tidak membuka pendidikan formal, tidak dengan pondok ini. Pesantren yang berjarak sekitar 17 kilometer dari kota Trenggalek itu tetap menerapkan pendidikan salaf murni, tanpa pendidikan formal. Meski demikian, kalau ada santri yang ingin menempuh pendidikan formal, pengasuh tidak menghalangi, bahkan mendorong. “Kalau ada santri yang ingin kuliah, kami persilakan. Bahkan ada sekitar lima santri yang kuliah di salah satu perguruan tinggi yang berada di sekitar Trenggalek,” jelas Gus Baha’.

Sebenarnya pihak pesantren juga menyadari kalau pesantren salaf saat ini semakin jarang peminat. Tapi bagaimanapun ruh itu harus tetap dipertahankan. Untuk itu, meski kurikulum tetap murni salaf, namun saran pendidikan haruslah modern. Sekitar tiga tahun silam pesantren telah berhasil menambah gedung sekolah berlantai tiga. Rencananya gedung itu akan diperuntukkan kelas ibtidaiyah dan tsanawiyah.

Kurikulum yang digunakan juga sama dengan di pesantren pada umumnya. Ada pengajian kitab kuning: guru membaca santri menyimak, atau santri membaca guru menyimak; ada bahtsul masail yang menjadi andalan utama pesantren ini. “Alhamdulillah setiap kegiatan bahtsul masail kita selalu mengikuti dengan mendelegasikan para santri senior,” kata suami Ning Nihayatul Husna itu. (Syaifullah/Red:Anam)

Sumber: NU Online

Posting Komentar untuk "Pondok Tengah, Pesantren Salaf Sarat Inovasi"