Jenggot, Celana Cingkrang dan Cadar Dalam Perspektif Syari'ah [bahtsul-fatwa]
Pada suatu ketika
seorang sahabat mengunjungi Nabi SAW dengan memakai baju yang jelek.” Rasul SAW
lalu bertanya, “Apakah engkau memiliki harta? Ia jawab, “Iya”. Rasul SAW
bertanya lagi, “Dari mana harta itu kau peroleh?” Ia menjawab, “Allah SWT telah
memberikanku (harta berupa) unta, kambing, kuda dan budak” Rasul SAW kemudian
bersabda, “Jika Allah SWT memberimu harta, maka tampakkanlah bekas
(hasil/manfaat) nikmat dan kemurahan Allah SWT yang diberikan kepadamu itu”
(HR. Abu Dawud).
Suatu ketika rasul
bersabda kepada para sahabatnya, ”Tidak akan masuk surga seorang yang di
hatinya terdapat sifat riya”. Kemudian ada yang bertanya tentang seorang yang
memakai pakaian yang indah, sandal yang mewah dan surban yang mahal. Apakah
orang itu telah riya karena berpenampilan melebihi yang lainnya. Rasul SAW
kemudian menjawab, ”Belum tentu, karena Allah SWT itu indah dan senang pada
keindahan. Yang dimaksud riya adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.
(HR. Bukhari Muslim)Beberapa hadits ini menjadi bukti bahwa Rasulullah SAW
sangat mendambakan umatnya untuk tampil dan terlihat indah, rapi dan bersih.
Memperhatikan penampilan sehingga tidak ada halangan banginya untuk dapat bergaul
dengan semua kalangan masyarakat. Yang barakibat terjaganya citra agama Islam
sebagai agama yang bersih dan anggun.
Dalam kehidupan
sehari-hari, anjuran tersebut bersifat fleksibel dan relatif. Disesuaikan
dengan kondisi dan situasi serta profesi sehari-hari. Tidak terpaku pada satu
model saja asalkan tidak dimaksudkan untuk sekedar bergaya, pamer kekayaan atau
menyombongkan diri. (Etika Bergaul di tengah Gelombang Perubahan, kajian kitab
kuning, 25-26) Jika di dalam teks-teks keagamaan secara tidak langsung
ditemukan larangan atau anjuran untuk berhias dengan model tertentu, maka hal
itu harus dilihat dalam konteks yang lebih luas. Tidak hanya terpaku kepada
pengertian secara harfiyah saja.
Intinya adalah
bagaimana seorang muslim berhias dan memperindah dirinya dengan tetap
mendahulukan kesopanan, menutup aurat dan kerapian serta tidak berlebihan dan
urakan. Dan yang terpenting adalah tidak untuk menimbulkan rangsangan atau
menggoda orang lain. Inilah makna dari firman Allah SWT:
وَقَرْنَ
فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُولَى
(الأحزاب، 33(
dan hendaklah kamu
tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti
orang-orang Jahiliyah yang dahulu (QS. Al-Ahzab, 33)
1. Memelihara Jenggot
Nabi Muhammad SAW bersabda:
عَنْ
ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَالِفُوا
الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ
إِذَا حَجَّ أَوْ اعْتَمَرَ قَبَضَ عَلَى لِحْيَتِهِ فَمَا فَضَلَ أَخَذَه )صحيح البخاري، 5442(
Dari Ibn Umar dari
Nabi Muhammad SAW bersabda, “Tampillah kalian berbeda dengan orang-orang
musyrik, peliharalah jenggot dan cukurlah kumis”. Dan ketika Ibn Umar
melaksanakan haji atau umrah, beliau memegang jenggotnya, dan ia pun memotong
bagian yang melebihi genggamannya” (Shahih al-Bukhari, 5442)
Walaupun hadits ini
menggunakan kata perintah, namun tidak serta merta, kata tersebut menunjukkan
kewajiban memanjangkan jenggot serta kewajiban mencukur kumis. Kalangan
Syafi’iyyah mengatakan bahwa perintah itu menunjukkan sunnah. Perintah itu
tidak menunjukkan sesuatu yang pasti atau tegas (dengan bukti Ibnu Umar sebagai
sahabat yang mendengar langsung sabda Nabi Muhammad Saw tersebut masih memotong
jenggot yang melebihi genggamannya). Sementara perintah yang wajib itu hanya
berlaku manakala perintahnya tegas.
Syaikhul Islam
Zakariya al-Anshari menyatakan mencukur jenggot adalah makruh khususnya jenggot
yang tumbuh pertama kali. Karena jenggot itu dapat menambah ketampanan dan
membuat wajah menjadi rupawan. (Asnal Mathalib, juz I hal 551)
Dari alasan ini
sangat jelas bahwa alasan dari perintah Nabi Muhammad SAW itu tidak murni
urusan agama, tetapi juga terkait dengan kebiasaan atau adat istiadat. Dan
semua tahu bahwa jika suatu perintah memiliki keterkaitan dengan adat, maka itu
tidak bisa diartikan dengan wajib. Hukum yang muncul dari perintah itu adalah
sunnah atau bahkan mubah.
Jika dibaca secara
utuh, terlihat jelas bahwa hadits tersebut berbicara dalam konteks perintah
untuk tampil berbeda dengan orang-orang musyrik. Imam al-Ramli menyatakan,
“Perintah itu bukan karena jenggotnya. Guru kami mengatakan bahwa mencukur
jenggot itu menyerupai orang kafir dan Rasululullah SAW sangat mencela hal itu,
bahkan Rasul SAW mencelanya sama seperti mencela orang kafir” (Hasyiyah Asnal
Mathalib, juz IV hal 162)
Atas dasar
pertimbangan ini, maka ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa memelihara jenggot
dan mencukur kumis adalah sunnah, tidak wajib. Oleh karena itu tidak ada dosa
bagi orang yang mencukur jenggotnya. Apalagi bagi seorang yang malah hilang
ketampanan dan kebersihan serta kewibawaannya ketika ada jenggot di wajahnya.
Misalnya apabila seseorang memiliki bentuk wajah yang tidak sesuai jika
ditumbuhi jenggot, atau jenggot yang tumbuh hanya sedikit.
Adapun pendapat yang
mengarahkan perintah itu pada suatu kewajiban adalah tidak memiliki dasar yang
kuat. Al-Halimi dalam kitab Manahij menyatakan bahwa pendapat yang mewajibkan
memanjangkan jenggot dan haram mencukurnya adalah pendapat yang lemah.
(Hasyiyah Asnal Mathalib, juz V hal 551). Imam Ibn Qasim al-abbadi menyatakan
bahwa pendapat yang menyatakan keharaman mencukur jenggot menyalahi pendapat
yang dipegangi (mu’tamad). (Hasyiah Tuhfatul Muhtaj Syarh al-Minhaj, juz IX hal
375-376)
2.Memakai Celana
Cingkrang
Asal mula penggunaan
celana cingkrang seperti yang dipakai oleh sebagian komunitas muslim adalah
untuk menghindari larangan Nabi Muhammad SAW. Karena dalam sebuah hadits Nabi
Muhammad SAW bersabda:
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرْ
اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ
ثَوْبِي يَسْتَرْخِي إِلاَّ أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ لَسْتَ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلاَءَ
(صحيح البخاري، 3392(
Dari Abdullah bin
Umar RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang memanjangkan
pakaiannya hingga ke tanah karena sombong, maka Allah SWT tidak akan melihatnya
(memperdulikannya) pada hari kiamat” Kemudian sahabat Abu Bakar bertanya,
sesungguhnya bajuku panjang namun aku sudah terbiasa dengan model seperti itu.
Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya engkau tidak melakukannya
karena sombong”(Shahih a-l-Bukhari, 3392)
Hadits ini harus
dilihat dari konteksnya, begitu pula dengan urutan dari sabda Nabi SAW
tersebut. Dengan jelas Nabi SAW menyebutkan kata karena sombong bagi
orang-orang yang memanjangkan bajunya. Hal ini berarti bahwa larangan itu bukan
semata-mata pada model pakaian yang memanjang hingga menyentuh ke tanah, tetapi
sangat terkait dengan sifat sombong yang mengiringinya.
Sifat inilah yang
menjadi alasan utama dari pelarangan tersebut. Dan sudah maklum apapun model
baju yang dikenakan bisa menjadi haram manakala disertai sifat sombong,
merendahkan orang lain yang tidak memiliki baju serupa. Al-Syaukani
menjelaskan, ”Yang menjadi acuan adalah sifat sombong itu sendiri. Memanjangkan
pakaian tanpa disertai rasa sombong tidak masuk pada ancaman ini.” Imam
al-Buwaithi mengatakan dalam mukhtasharnya yang ia kutip dari Imam al-Syafi’i,
”Tidak boleh memanjangkan kain dalam shalat maupun di luar shalat bagi
orang-orang yang sombong. Dan bagi orang yang tidak sombong maka ada keringanan
berdasarkan sabda Nabi kepada Abu Bakar ra”(Nailul Awthar, juz II hal 112) Imam
Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayat berkata, ”Memanjangkan pakaian dalam
shalat hukumnya boleh jika tidak disertai rasa sombong” (Kasysyaf al-Qina`, juz
I hal 276)
Oleh karena itu,
memanjangkan baju bagi orang yang tidak sombong tidak dilarang. Boleh-boleh
saja sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah SAW kepada sahabat Abu Bakar RA.
Sedangkan hukum haram hanya berlaku bagi mereka mengenakan busana dengan tujuan
kesombongan, walaupun tanpa memanjangkan kain. Karena realitas saat ini
kesombongan itu tidak hanya bisa terjadi kepada mereka yang mamakai baju
panjang menjuntai, tetapi juga mereka yang memakai gaun mini. Mereka merasa apa
yang digunakan adalah gaun yang berkelas, sehingga meremehkan orang lain. Dan
inilah hakikat pelarangan tersebut.
Dari sisi lain,
mengartikan hadits ini hanya dengan celana cingkrang adalah tidak tepat karena
nabi menyebut hadits itu dengan kata pakaian (tsaub), sementara pakaian tidak
hanya celana tetapi juga baju, surban, kerudung dan lainnya. Itulah sebabnya
ulama menyatakan bahwa keharaman itu berlaku umum kepada semua jenis pakaian.
Ukurannya adalah ketika baju itu dibuat dan dikenakan melebihi ukuran biasa.
Dalam Syari’at, demikian ini disebut isbal. Isbal adalah menjuntaikan pakaian
hingga ke bawah. Memanjangkan lengan tangan gamis adalah perbuatan yang
dilarang karena termasuk isbal yang dilarang dalam hadits. Bahkan Qadhi Iyadh
yang menyatakan ”Makruh hukumnya menggunakan semua pakaian yang ukurannya
melebihi ukuran yang biasa, baik luas atau panjangnya” (Nailul Awthar, juz II
hal 114)
Dari sinilah, maka
larangan isbal seharusnya tidak hanya berlaku untuk celana, tetapi semua jenis
busana jika di dalam mengenakannya disertai dengan rasa sombong, itu
diharamkan. Begitu pula dengan memanjangkan kerudung adalah hal terlarang jika
disertai sikap sombong, apalagi merasa dirinya paling beragama. Dengan demikian
pakaian yang sudah biasa dikenakan kebanyakan umat islam saat ini baik berupa
sarung maupun celana (bagi laki-laki) sampai di bawah mata kaki namun tidak
menjuntai ke tanah tidak termasuk yang dilarang oleh agama berdasarkan beberapa
penjelasan para ulama di atas.
3. Memakai Cadar
Firman Allah SWT:
وَقُلْ
لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلاَ
يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ
عَلَى جُيُوبِهِنَّ (النور، 31(
Katakanlah kepada
wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke
dadanya.
(QS. Al-Nur, 31).
Ayat ini menjelaskan
perintah Allah SWT kepada perempuan-perempuan muslim untuk merendahkan
pandangannya serta menjaga kemaluannya, lebih umum lagi adalah seluruh organ
reproduksinya. Terkait dengan pembahasan aurat, ayat ini menegaskan larangan
untuk menampakkan seluruh anggota badan perempuan kecuali yang biasa nampak
darinya (ma dhahara minha). Inilah yang kemudian menjadi batasan aurat bagi
perempuan.
Yang menjadi
perdebatan kemudian, karena ayat ini tidak menyebutkan secara detail anggota
badan yang dimaksud. Itulah sebabnya para ulama berbeda pendapat tentang apakah
yang dimaksud Allah SWT dalam firman-Nya itu. Mayoritas ulama (jumhur)
menyatakan bahwa yang dimaksud adalah wajah dan kedua tangan. Keduanya adalah
sesuatu yang biasa nampak ketika seseorang melakukan interaksi sosial. Wajah
adalah penanda pertama untuk mengenali seseorang. Begitu pula dengan tangan
yang digunakan untuk berbagai keperluan.
Di dalam tafsir Ibn
Katsir dikutip keterangan dari al-A’masy Dari Sa’id bin Jubair dari Ibn Abbas,
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak
darinya” ia berkata, “Wajah dan kedua tangan dan cincinnya”. Al-Marghinani dari
kalangan Hanafiyah mengatakan, “Seluruh anggota badan perempuan adalah aurat
kecuali wajah dan kedua tangannya” (al-Hidayah, juz I hal 158).
Dalam madzhab Malik,
Syaikh Ibn Khallaf al-Baji memberikan keterangan, “Terkadang seorang Istri
menemani suaminya yang makan bersama laki-laki lain. Dalam kondisi seperti ini,
laki-laki- tersebut boleh melihat wajah dan kedua tangan wanita tersebut .
Sebab dua anggota tubuh tersebut adalah yang biasa terlihat ketika makan.
(Al-Muntaqa syarh al-Muwaththa’ juz IV hal 252 )
Ibn Hajar dari
kalangan Syafi’iyyah menukil pendapat dari Qadhi Iyadh bahwa terjadi ijma’
bahwa seorang perempuan tidak wajib menutup wajahnya. Karena menutup wajah
hukumnya sunnah dan, oleh karena itu, laki-laki yang berada di depannya juga
disunnahkan memalingkan pandangan karena itulah perintah al-Qur’an” (Tuhfatul
Muhtaj Syarh al-Minhaj, juz VII hal 193)
Dari sekian pendapat
ini, tidak ada satupun yang menegaskan kewajiban memakai cadar, karena memang
wajah itu bukan termasuk aurat yang wajib ditutupi. Pemakaian cadar yang
berlaku di masyarakat Arab dahulu adalah tradisi bagi masyarakat tertentu. Ada
pendapat dari golongan Hanafiyyah yang mewajibkan cadar karena wajah termasuk
anggota yang wajib ditutup. Namun penerapan dari pendapat ini juga harus
melihat konteksnya. Karena bisa jadi pemakaian cadar itu justru menyebabkan
pemakainya terisolir manakala hal tersebut tidak bisa diterima oleh masyarakat
setempat, Apalagi hanya karena persoalan ini akan menyebabkan perpecahan antara
umat Islam karena disertai tudingan salah bagi mereka yang tidak memakai cadar.
Dengan demikian,
memelihara jenggot, memakai celana cingkrang, dan memakai cadar tidak bisa
dikategorikan sebagai identitas Islami. Pertama, karena dari segi dalil, hal
tersebut masih terjadi perdebatan ulama dari dulu sampai sekarang (khilafiyah).
Bahkan terhitung lemah dalilnya bagi yang mewajibkannya. Kedua, di samping
lemah dalil, memelihara jenggot, memakai celana cingkrang dan memakai cadar
tidak ada signifikansi dan pengaruhnya dalam realitas hidup kekinian. Ketiga,
sebagian yang dianggap identitas Islami itu pada kenyataannya juga digunakan
oleh tokoh-tokoh non-muslim yang memusuhi Islam. Misalnya Fidel Castro, perdana
menteri Cuba yang komunis, Calvin (pembaharu Perancis yang juga nasrani), Karl
Mark (bapaknya para komunis) dan lain sebagainya. Semuanya mengggunakan
jenggot. Foto-fotonya bisa dilihat di berbagai buku ensiklopedi.
Semakin sulit kita
menjelaskan ketika ada pertanyaan: “Katanya jenggot itu identitas Islami.
Tetapi mengapa orang non-muslim yang memusuhi Islam juga menggunakannya?”.
***
Ditulis oleh : Ustadz M. Idrus Ramli
Ditulis oleh : Ustadz M. Idrus Ramli
________________________
Sumber Tulisan
:
http://www.idrusramli.com/2015/jenggot-celana-cingkrang-dan-cadar-dalam-perspektif-syariah/
saya harapkan, ini tidak menjadi dalil untuk mengolok" mereka yang celananya diatas mata kaki.
BalasHapusbukan, ini upaya pendewasan kita dalam berfikir
Hapus