Portal Pelajar Durenan -Menghadaplah pada suatu hari, Bilal putra
Rabah r.a. kepada Nabi Muhammad s.a.w. Maula berkulit hitam yang
dibebaskan oleh Abu Bakar r.a. pada masa awal dakwah Nabi itu mengadukan
perihal pinangannya yang ditolak oleh puak Al Bukair. [Maula artinya
orang dalam perlindungan, mantan budak. Nabi meminta menggunakan istilah
maula sebagai pengganti istilah ‘abd, budak].
Bukan bapak si gadis yang menolak pinangan Bilal melainkan
saudara-saudaranya. “Ya Rasulullah, lihatlah yang aku dapatkan dari Bani
Bukair. Aku meminang salah seorang putri mereka tapi mereka menolakku
bahkan menghinaku. “
Nabi menenangkan Bilal tapi tak pelak dia murka mendengar keluh kesah
Bilal, dan kabar tentang kemurkaan Nabi itu sampai pada saudara-saudara
dari si gadis yang dipinang oleh Bilal. Mereka lalu mendatangi si anak
gadis dan merundungnya dengan menyatakan si gadislah yang menyebabkan
Rasulullah murka kepada mereka. Menjawab saudara-saudaranya, si gadis
berkata, “Urusanku di tangan Rasulullah.”
Beberapa hari setelah kejadian itu, Bani Bukair menerima pinangan Bilal
dan menikahkannya dengan gadis pilihannya. Begitulah Imam Al Qurthubi
menceritakan dalam salah satu buku tafsirnya tentang pernikahan yang
bukan saja antar ras tapi juga antarkasta dan pernikahan semacam itu tak
hanya terjadi pada Bilal.
Cerita lain adalah pernikahan Salman Al Farisi r.a. dengan salah satu
putri Abu Bakar. Sama dengan Bilal, Salman adalah seorang maula. Dia
berasal dari Parsi dan setelah dibebaskan sebagai budak, menjadi salah
satu panglima Islam. Pengatur strategi. Salah satu idenya adalah membuat
parit dalam Perang Khandaq. Maula yang berpostur tinggi besar dengan
rambut lebat itulah yang meminang salah seorang putri Abu Bakar. Dan dia
diterima.
Kisah tentang Bilal dan Salman yang menikah dengan perempuan dari
bangsa, ras dan kasta yang berbeda itu, hanya sedikit contoh tentang
kesetaraan manusia yang berlainan asal-usul kebangsaan, warna kulit
maupun bahasa yang diajarkan Islam dan dipraktekkan oleh Nabi.
Di buku “Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik”, Syu’bah Asa menyebut ajaran
kesejahteraan itu “dipaksakan” oleh Nabi untuk mendobrak kungkungan
sikap rasis pada zaman itu, abad ke-7 Masehi, yang masih sangat kental.
Pada zaman itu, Bilal dan Salman bukan saja berbeda bangsa, kulit dan
bahasa, tapi keduanya adalah maula. Bekas budak yang diperdagangkan oleh
kaum pagam Quaraisy.
Tentu Nabi tidak gegabah melakukan perlawanan. Dia menyandarkan sikap
dan pendiriannya pada Al Quran. Antara lain yang tercantum pada Surat Ar
Rum [Roma] baris ke 22: “Di antara tanda-tanda kekuasaan Allah adalah
penciptaan segala langit dan bumi, dan keanekaragaman bahasamu, warna
kulitmu. Dalam hal ini, terdapat tanda-tanda bagi kalangan yang
berilmu.”
Ayat itu, menurut Syu’bah, merupakan pasangan dari Surat Al Hujurat
baris ke-13: “Wahai manusia, Kami ciptakan kalian dari laki-laki dan
perempuan dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan berpuak-puak agar
kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian
di sisi Allah, adalah yang paling takwa. Allah mahamengetahui.”
Dari redaksinya, bisa dipahami ayat itu berbicara bukan hanya kepada
kaum Muslim melainkan kepada seluruh manusia meskipun ada penjelasan
lain. Yusuf Ali [1407] misalnya menjelaskan, "dalam sebuah dunia yang
sempurna, dua-duanya bisa dimengerti sebagai sinonim."
Beberapa ahli tafsir menyatakan, ayat-ayat kesetaraan itu turun karena
beberapa sebab [asbabun nuzul], kejadian-kejadian yang mendahului
penerimaan wahyu. Antara lain, seperti diceritakan oleh Abu Daud dalam
kitab “Al Marassil.”
Dia menuturkan, pada suatu hari, Rasulullah menyuruh Bani Bayadhah untuk
menikahkan seorang perempuan dari mereka dengan Abu Hind tetapi mereka
menolak. Mereka berkata, “Maula kami harus menikah dengan gadis kami?”
Peristiwa penolakan dari Bani Bayyadhah itulah yang konon menjadi
penyebab turunnya ayat ke-13 Surat Al Hujurat kepada Nabi.
Sebab lainnya adalah kejadian di pasar Madinah. Rasulullah sedang lewat
di pasar itu ketika seorang budak dari Afrika berkata, “Siapa yang
membeli aku ada syaratnya: tidak melarangku shalat lima waktu di
belakang Rasulullah.”
Dia lalu dibebaskan oleh seseorang tapi tak berapa lama, dia sakit. Nabi
menjenguknya, dan ketika maula itu mati, Nabi mempimpin pemakamannya.
Dan gara-gara semua itu, orang-orang lalu berbicara macam-macam mengenai
si maula sehingga turunlah ayat itu. Kisah ini antara lain ditulis oleh
Al Nasafi dalam kitab tafsirnya.
Dalam buku tafsir “Bahrul Muhit,” Abu Haiyan menceritakan, ada sebab
yang lain lagi, yaitu karena kelakuan Bilal. Pada hari pembebasan
Makkah, Bilal naik ke atap Ka’bah dan melakukan azan pertama di sana
tapi tingkah Bilal membuat marah Harits putra Hisyam dan Itab putra
Usaid. Mereka tidak senang karena Bilal adalah maula.
Makna dari ayat Ar Rum dan Al Hujurat itu kemudian lebih dijelaskan
lewat ucapan dan praktek oleh Nabi melalui perilaku. Bersumber kepada
Abu Nadrah, di kitab Aadaabun Nufus Thabari mengisahkan tentang para
sahabat yang menyaksikan dan mendengarkan khotbah terakhir Nabi. Nabi
menyampaikan khotbahnya sembari duduk di atas punggung unta di Mina pada
hari-hari tasyriq, salah satu dari tanggal-tanggal 11-13 Dzulhijjah.
Jumlah jemaah haji diperkirakan 140 ribu orang dan bagian-bagian paling
panting dari kalimat Nabi diteriakkan orang ke belakang.
“Ketahuilah olehmu wahai manusia bahwa Tuhan kalian semua adalah satu.
Bapa kalian semua adalah satu. Tidak ada kelebihan apa pun pada orang
Arab atas orang Parsi atau orang Parsi atas orang Arab. Tidak pula orang
hitam atas yang merah atau yang merah atas yang hitam, kecuali dengan
takwa. Dengarlah: sudahkah aku sampaikan?”
Orang-orang menjawab, “Sudah ya Rasulullah. Engkau sudah menyampaikan
dan kami telah mendengarnya.” Lalu Nabi melanjutkan khotbahnya,
“Hendaklah yang menyaksikan menyampaikan kepada yang tidak hadir.”
Jauh sebelum itu, pada hari pembebasan Makkah, sewaktu Nabi melakukan
tawaf, dia juga berbicara tentang pentingnya tidak mengungkit-ungkit
masalah ras. “Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan dari
kalian aib jahiliah dan sifat takaburnya. Saudara-saudara, sesungguhnya
manusia itu hanya ada dua: mukmin yang takwa dan mulia dalam pandangan
Allah, dan pendosa yang celaka dan hina dalam pandangan Allah.”
Menyandarkan pada sahih Muslim, Qurthubi bahkan memuat pernyataan Nabi
yang menyangkut nasabnya. Dari hadis Abdullah putra Amr dikisahkan, “Aku
mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda dengan suara keras, bukan lirih,
bahwa ‘sebenarnya keluarga [aal] ayahku bukan para pelindungku. Ada pun
pelindungku hanya Allah dan para mukmin yang saleh’.”
Dari pernyataan itu, dalam dimensi kenabian yang hanya sepenggal,
Rasulullah jauh-jauh hari telah melepaskan diri dari kedudukan sebagai
manusia klan, dan masuk ke kedudukan manusia Islam. Dan manusia Islam
atau Muslim adalah manusia yang menghargai perbedaan asal-usul, bangsa,
ras, bahasa, dan bahkan keyakinan. Manusia yang tidak rasis. Wallahu
‘alam.
Source: muslimmedianews
Location:
Berbagi :
Posting Komentar
untuk "Islam Menghargai Perbedaan"
Posting Komentar untuk "Islam Menghargai Perbedaan"